Ruanginspirasimu.com — Banyak yang mengira imposter syndrome hanya bisa dialami di dunia kerja atau dalam kehidupan profesional dewasa. Padahal, akar dari perasaan tidak cukup, rasa bersalah saat berhasil, dan ketakutan dianggap “pura-pura pintar” itu sering tumbuh sejak bangku sekolah. Dan di sinilah peran guru serta sistem pendidikan menjadi sangat vital, bukan sekadar mendidik, tapi juga menemani pertumbuhan mental dan emosional siswi yang mungkin belum mengenal apa itu imposter syndrome, tapi sudah merasakannya.
Mengapa Imposter Syndrome Bisa Tumbuh dari Lingkungan Sekolah?
Sekolah sering kali tanpa sadar menciptakan standar tinggi,
yang membuat anak perempuan merasa bahwa mereka harus “sempurna”.
Harus pintar di pelajaran, sopan, tidak terlalu vokal, dan selalu jadi kebanggaan.
Ketika mereka gagal memenuhi ekspektasi itu,
walau hanya sedikit, tetap berpotensi munculnya rasa bersalah dan keraguan diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam jangka panjang, ini menjadi bibit imposter syndrome.
Seorang siswi yang mendapat nilai bagus tapi merasa itu “kebetulan saja”,
atau menghindari tugas kelompok karena takut terlihat bodoh, adalah contoh nyata.
Jika ini tidak terdeteksi sejak dini,
dia akan tumbuh menjadi perempuan yang terus meragukan keberhasilannya, meski punya banyak prestasi.
Guru harus bisa menjadi Cermin dan Penyangga Rasa Percaya Diri
Guru bukan sekadar pemberi materi.
Di hadapan para murid perempuan, guru adalah cermin,
cara mereka memberikan feedback, memuji, atau mengkritik akan membentuk cara anak memandang dirinya sendiri.
Guru yang mampu mengapresiasi proses, bukan hanya hasil,
secara tidak langsung sedang menanamkan benih growth mindset.
Mereka yang terbiasa mengatakan, “Saya bangga kamu berani mencoba, walau belum sempurna,”
sedang mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak bergantung pada hasil akhir saja.
Lebih jauh lagi,
guru yang membuka ruang diskusi tentang perasaan, membiarkan anak-anak berbagi cerita,
dan menormalisasi kesalahan adalah guru yang ikut menyelamatkan banyak anak perempuan,
dari jebakan imposter syndrome.
Keberadaan Sistem Pendidikan yang ramah Perempuan, bisa menjadi salah satu faktor besar,
dalam membantu mengatasi tumbuhnya imposter syndrome pada siswa perempuan
Kurikulum dan pendekatan pendidikan juga memegang peran besar.
Pendidikan yang terlalu fokus pada kompetisi dan ranking,
justru memperparah rasa “tidak cukup baik” yang sering dirasakan siswi.
Padahal, pendidikan bisa dirancang untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan empati.
Sekolah bisa mulai dengan menyediakan mentor perempuan dari kalangan guru atau profesional luar,
yang bisa menjadi role model.
Ini bukan soal gender semata,
tapi tentang representasi,
ketika anak perempuan melihat sosok seperti dirinya yang berani, pintar, dan tetap hangat,
ia jadi percaya bahwa ia juga bisa.
Pentingnya untuk Membangun Budaya Sekolah yang Mendukung
Budaya sekolah juga bisa berkontribusi besar.
Apakah sekolah mendukung murid perempuan untuk bicara di forum-forum diskusi?
Apakah murid diajak berdialog, bukan hanya disuruh mendengar?
Apakah anak-anak merasa aman untuk mengakui kelemahannya?
Sekolah yang terbuka terhadap pertanyaan, menyambut keberagaman cara berpikir,
dan memberi ruang berekspresi, akan membentuk pribadi perempuan yang tidak takut bersuara.
Mereka jadi tahu bahwa pendapat mereka valid,
keberhasilan mereka layak dirayakan, dan kesalahan adalah bagian dari belajar.
Bayangkan, betapa indahnya,
Jika guru bisa menemani Mereka Tumbuh, Bukan Menuntut Mereka Jadi Sempurna,
Perempuan muda yang sedang tumbuh tidak butuh tekanan untuk menjadi sempurna.
Mereka butuh teman bertumbuh.
Dan guru bisa menjadi orang yang hadir dengan empati,
yang mengerti bahwa keberhasilan sejati bukan hanya nilai akademik,
tapi kepercayaan diri untuk terus melangkah.
Alih-alih memaksa siswi untuk tampil sempurna, mari ajarkan mereka untuk tampil utuh.
Ajarkan bahwa wajar merasa ragu, asal tidak berhenti mencoba.
Bahwa suara mereka layak didengar, meskipun belum lantang.
Dan bahwa keberhasilan yang diraih, sekecil apa pun, adalah pantas,
dan ini bukan karena kebetulan,
tapi karena mereka memang berharga.
Sehingga makin jelas, bagaimana peran Guru sebagai pembuka jalan Masa Depan,
sesungguhnya setiap guru punya kesempatan membuka jalan bagi masa depan perempuan.
Saat mereka menguatkan murid yang merasa kecil,
mereka sedang mencegah generasi baru dari terjebak dalam rasa tidak percaya diri.
Saat mereka menyuarakan bahwa setiap orang bisa belajar dan bertumbuh,
mereka sedang melatih generasi baru yang lebih sehat secara mental dan emosional.
Mari jadikan sekolah bukan tempat yang memenjarakan potensi, tapi tempat yang menghidupkan harapan.
Dan guru, dengan empati dan keteladanannya, adalah kunci dari perubahan besar ini.
Sumber Berita : Diolah Dari Berbagai Sumber