Ruanginspirasimu.com – Di sebuah sekolah yang terletak di tengah kota, seorang anak bernama Raka selalu berada di peringkat teratas kelasnya. Setiap kali mendapatkan nilai sempurna, orang tuanya menghadiahinya dengan sesuatu yang baru, mulai dari mainan hingga gadget terbaru. Namun, ketika suatu hari ia hanya mendapat nilai sembilan puluh, ekspresi kecewa dari orang tuanya membuatnya merasa bahwa usahanya sia-sia. Kebahagiaan yang biasa ia rasakan dari belajar perlahan-lahan bergeser menjadi keharusan untuk selalu mendapatkan penghargaan. Raka pun tanpa sadar terjebak dalam apa yang disebut sebagai treadmill hedonis dalam pendidikan.
Treadmill hedonis adalah sebuah siklus di mana seseorang terus mencari kepuasan baru,
tanpa pernah benar-benar merasa puas dalam jangka panjang.
Dalam dunia pendidikan,
kondisi ini bisa terjadi ketika anak-anak atau siswa terbiasa mengaitkan kebahagiaan mereka,
hanya dengan pencapaian akademik yang diakui oleh orang lain, seperti nilai tinggi atau penghargaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya, jika ini dibiarkan,
mereka akan tumbuh menjadi individu yang selalu mengejar validasi eksternal, bukan kepuasan intrinsik dari proses belajar itu sendiri.
Mengajarkan Apresiasi atas Proses, Bukan Hanya Hasil
Bayangkan seorang anak yang sejak kecil diajarkan bahwa setiap kali ia mendapatkan nilai baik,
ia akan menerima hadiah.
Meskipun tampak sebagai metode motivasi yang efektif, dalam jangka panjang,
pola ini justru membuat anak kehilangan makna dari belajar itu sendiri.
Anak-anak mulai melihat belajar hanya sebagai alat untuk mendapatkan penghargaan,
bukan sebagai proses yang menyenangkan.
Di sinilah peran guru dan orang tua menjadi sangat penting.
Mereka perlu mengubah pola pendekatan dengan mengajarkan bahwa belajar bukan hanya tentang nilai,
tetapi tentang bagaimana menikmati proses memahami sesuatu yang baru.
Seorang guru bisa mendorong siswa untuk mendiskusikan bagaimana perasaan mereka saat menemukan solusi dari sebuah masalah yang sulit.
Orang tua bisa menggali percakapan yang lebih dalam, seperti menanyakan,
“Apa yang paling menarik dari pelajaran ini?” atau “Bagian mana yang paling membuat kamu penasaran?”.
Dengan begitu, anak-anak tidak hanya terpaku pada hasil,
tetapi juga menikmati setiap langkah dalam proses belajar mereka.
Metode ini juga bisa diterapkan dalam sistem evaluasi di sekolah.
Daripada hanya menyoroti angka sebagai satu-satunya indikator keberhasilan,
guru bisa memberikan umpan balik berbasis usaha dan kreativitas siswa.
Misalnya,
seorang siswa yang belum mendapatkan nilai tinggi,
tetapi menunjukkan perkembangan dalam memahami materi perlu diapresiasi dengan cara yang lebih personal,
seperti memberikan pujian atas kerja kerasnya atau mencatat perkembangan belajarnya sebagai bagian dari evaluasi.
Mendorong Siswa Menemukan Kebahagiaan dalam Eksplorasi Ilmu
Selain mengajarkan apresiasi terhadap proses,
penting juga untuk membangun rasa ingin tahu yang alami pada anak-anak.
Banyak siswa yang kehilangan minat belajar karena mereka hanya diajarkan untuk mengejar nilai,
bukan memahami bagaimana ilmu bisa diterapkan dalam kehidupan mereka.
Misalnya,
seorang guru fisika yang hanya mengajarkan rumus tanpa menunjukkan bagaimana konsep tersebut bekerja dalam dunia nyata,
akan membuat siswa cepat bosan dan merasa tidak memiliki koneksi dengan ilmu tersebut.
Namun, jika guru memberikan eksperimen sederhana atau studi kasus dari kehidupan sehari-hari,
siswa akan lebih tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh.
Ketika anak menemukan keasyikan dalam belajar,
mereka akan lebih mudah merasa puas dengan pencapaian kecil yang mereka buat,
tanpa harus selalu mengejar penghargaan eksternal.
Orang tua juga bisa berkontribusi dengan menciptakan lingkungan yang merangsang rasa ingin tahu anak-anak mereka.
Misalnya, ketika anak bertanya sesuatu,
daripada langsung memberikan jawaban, ajak mereka untuk mencari tahu bersama.
Dengan cara ini, anak tidak hanya mendapatkan jawaban,
tetapi juga belajar menikmati proses pencarian informasi,
yang pada akhirnya membuat mereka lebih mandiri dalam belajar.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, memang sulit untuk melepaskan diri dari tekanan pencapaian.
Namun, jika guru dan orang tua dapat bekerja sama,
untuk menanamkan nilai bahwa belajar adalah perjalanan yang menyenangkan,
bukan sekadar alat untuk mendapatkan validasi sosial,
anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang lebih seimbang dan tidak terjebak dalam treadmill hedonis.
Dengan begitu,
mereka bisa menemukan kebahagiaan sejati dalam eksplorasi ilmu,
dan bukan sekadar dalam pencapaian akademik semata.
Sumber Berita : Diolah Dari Berbagai Sumber