Ruanginspirasimu.com – Mungkin Kamu pernah merasa ada sesuatu yang janggal saat seseorang berkata, “Semua akan baik-baik saja, jangan terlalu dipikirkan!” di tengah situasi yang berat? Mungkin niatnya baik, ingin memberikan semangat agar kamu tidak larut dalam kesedihan.
Namun, ada kalanya nasihat seperti itu justru membuatmu merasa tidak didengar, bahkan terpaksa menutupi perasaan yang sebenarnya. Inilah yang disebut toxic positivity, sebuah fenomena yang sering terjadi tanpa disadari.
Satu hari, seorang teman lama menghubungiku.
Suaranya terdengar lemah, dan aku bisa merasakan ada kesedihan yang coba ia tahan.
Ia baru saja mengalami kegagalan besar dalam karirnya, sesuatu yang sudah ia perjuangkan bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ketika ia mencoba berbagi cerita kepada orang-orang terdekatnya,
respons yang ia dapat justru seperti, “Sudahlah, kamu pasti bisa melewatinya!”
atau “Tetap positif ini pasti ada hikmahnya.”
Alih-alih merasa lebih baik, ia justru semakin tertekan, seolah-olah perasaannya tidak berharga.
Ini adalah contoh nyata dari bagaimana toxic positivity bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
Bagaimana Memahami Arti Toxic Positivity
Toxic positivity adalah pola pikir yang memaksakan seseorang untuk selalu berpikir positif,
bahkan dalam situasi sulit sekalipun.
Ini bukan sekadar optimisme sehat yang membantu seseorang bangkit dari keterpurukan,
tetapi lebih kepada tekanan untuk mengabaikan,
atau menekan emosi negatif yang sebenarnya penting untuk diproses.
Kita hidup di era di mana kutipan motivasi dan pesan-pesan positif bertebaran di media sosial.
“Think positive!” atau “Jangan biarkan hal buruk menghambatmu!”
mungkin terdengar seperti kata-kata yang membangkitkan semangat,
tetapi ketika itu digunakan untuk mengabaikan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan seseorang,
maka hal itu bisa menjadi racun bagi kesehatan mental.
Apa Saja Dampak Buruk Toxic Positivity
Ketika seseorang terus-menerus dipaksa untuk berpikir positif,
tanpa diberikan ruang untuk mengakui perasaannya, ini bisa menyebabkan efek psikologis yang berbahaya.
Salah satunya adalah tekanan emosional yang semakin meningkat.
Saat kita menekan emosi negatif, kita sebenarnya tidak benar-benar mengatasinya.
Emosi tersebut hanya tertahan dan bisa meledak kapan saja dalam bentuk stres berkepanjangan,
kecemasan, atau bahkan depresi.
Selain itu, toxic positivity juga dapat merusak hubungan sosial.
Ketika seseorang merasa tidak didengar atau dipahami,
ia mungkin akan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
Padahal, dukungan sosial yang tulus sangat penting dalam proses pemulihan emosi.
Jika seseorang terus-menerus diberikan pesan untuk “tetap berpikir positif,”
ia bisa merasa semakin terisolasi dan kesepian.
Mengapa Banyak Orang Tidak Sadar Melakukan Toxic Positivity?
Kebiasaan memberikan nasihat positif ini sering kali berasal dari niat baik.
Kita ingin membantu orang lain merasa lebih baik dan mencoba mengangkat semangat mereka.
Namun, tanpa disadari, kita justru membuat mereka merasa bersalah atas perasaan negatif yang mereka alami.
Selain itu,
budaya kita sering kali mengajarkan bahwa menunjukkan kesedihan atau kelemahan adalah tanda ketidaksempurnaan.
Sejak kecil, banyak dari kita diajarkan untuk “jangan menangis” atau “jangan mengeluh,”
seolah-olah emosi negatif adalah sesuatu yang harus disembunyikan.
Padahal, emosi itu adalah bagian alami dari kehidupan yang perlu diterima dan dipahami.
Bagaimana Menghindari Toxic Positivity?
Mengatasi toxic positivity bukan berarti kita harus selalu fokus pada hal-hal negatif.
Sebaliknya, kita perlu menyeimbangkan antara berpikir positif dan memberikan ruang bagi emosi yang ada.
Langkah pertama adalah mengakui dan menerima semua emosi yang muncul.
Jika seseorang merasa sedih, marah, atau kecewa, itu bukan tanda kelemahan.
Justru, mengakui perasaan tersebut adalah bagian dari proses penyembuhan.
Misalnya, daripada mengatakan, “Jangan sedih, kamu pasti bisa!”
cobalah untuk berkata, “Aku mengerti ini pasti sulit bagimu. Aku di sini kalau kamu butuh teman bicara.”
Selain itu, penting untuk membangun lingkungan yang mendukung keterbukaan emosional.
Jika seseorang ingin berbagi perasaan mereka, dengarkan tanpa menghakimi atau memberi solusi instan.
Terkadang, seseorang hanya butuh didengar, bukan diceramahi.
Kita juga bisa mengubah cara kita memotivasi diri sendiri.
Daripada memaksa diri untuk selalu berpikir positif, cobalah untuk lebih realistis.
Alih-alih berkata, “Aku harus tetap bahagia!”, ubahlah menjadi,
“Aku tahu ini berat, tapi aku akan melalui ini dengan cara yang terbaik.”
Menjalani Hidup dengan Seimbang
Berpikir positif tentu baik, tetapi jika dilakukan dengan cara yang menekan emosi negatif,
itu bisa menjadi sesuatu yang beracun.
Setiap emosi yang kita rasakan, baik positif maupun negatif, memiliki peran dalam kehidupan kita.
Dengan menerima dan memahami perasaan kita sendiri,
kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih autentik.
Jadi, mulai sekarang, mari kita berhenti memaksa diri dan orang lain untuk selalu bahagia.
Sebaliknya,
mari kita belajar untuk lebih jujur terhadap diri sendiri dan memberikan ruang bagi semua emosi yang ada.
Karena dalam keseimbangan antara kebahagiaan dan kesedihan,
di situlah kita menemukan makna sejati dalam hidup.
Bagaimana dengan kamu? Pernahkah kamu merasa terbebani oleh tekanan untuk selalu berpikir positif?
Sumber Berita : Diolah Dari Berbagai Sumber